Jumat, 19 April 2013
Eyang Subur tak Suka MUI Ikut Campur
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Eyang Subur akhirnya melawan setelah beberapa pekan digunjing tuduhan mengajarkan aliran sesat hingga hobi menikahi istri orang.
Pria yang populer sebagai guru spiritual kalangan artis itu melaporkan artis Adi Bing Slamet dan istrinya, serta dua mantan pengikutnya ke Bareskrim Mabes Polri.
Sekitar tiga jam Eyang Subur menjelaskan laporannya kepada petugas Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Bareskrim Polri, Jumat (19/4/2013). Didampingi pengacaranya, Ramdan Alamsyah, Eyang Subur juga mengadu ke Komnas HAM.
"Dua laporan kita diterima, kedatangan kita hari ini (kemarin) dalam rangka melakukan upaya penegakan hukum, mencari kebenaran dan mencari keadilan. Dan, mencari kebenaran itu bukan di depan media," tegas Ramdan di Mabes Polri, Jakarta.
Ada empat orang yang dilaporkan, yaitu Adi Bing Slamet, Nurjanah (istri Adi Bing Slamet), Novi Oktora dan Arya Wiguna. Laporan Eyang Subur tercatat dengan nomor TBL/169/ IV/2013/Bareskrim.
"Masing-masing terlapor merupakan pihak yang dengan bebasnya memberikan pernyataan-pernyataan di media cetak, online, yang akhirnya membentuk opini terhadap klien kami dan sangat merugikan," tandas Ramdan.
Adi Bing Slamet cs dinilai melanggar Pasal 27 jo Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (ITE). Apabila terbukti, mantan penyanyi cilik akhir tahun 1970-an itu terancam hukuman penjara selama enam tahun atau denda Rp 1 miliar.
Dada Eyang Subur makin sesak, manakala Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut campur. Ia merasa terzalimi. MUI dinilai seolah-olah memaksanya mengakui kesalahan melakukan praktek perdukunan.
Ramdan mengungkapkan, saat dirinya mendatangi MUI yang kedua kalinya untuk menanyakan fatwa resmi MUI, justru dijawab bahwa fatwa tersebut tak ada. "Di situ orang MUI mengatakan tolong pakai nurani, bahwasannya Eyang Subur pernah melakukan perdukunan," beber Ramdan.
"Artinya apa? Kalimat itu sama dengan kalimat Adi Bing Slamet yang menginginkan dia (Eyang Subur) mengakuinya. Percuma Eyang Subur sudah disumpah nggak dipercaya. Kenapa juga MUI menyuruh buat pernyataan yang sesungguhnya dia tidak melakukan?" tegasnya.
Eyang Subur sejak semula tak pernah mengaku sebagai dukun, kyai, ulama, guru atau paranormal. Ini sudah dibuatkan pernyataan tertulis dan dinotarialkan serta diserahkan ke MUI.
"Kenapa masih minta kita mengakui Eyang Subur menjalankan praktek perdukunan. Ini yang kita anggap timpang. MUI sendiri mengatakan terakhir saat tabayun, siap nggak untuk diislahkan? Oh, siap. Tapi nyatanya hari kedua kita ke sana. Kalau mau diislahkan harus buat pernyataan ini," tutur Ramdan.
Kendati demikian, Ramdan tak mau membuka isi surat yang dimaksud. "Surat, nanti rahasia. Tidak dibuka ke siapapun. Lho kok jadi kita seolah-olah diarahkan harus mengakui. Itu saksinya saya sendiri," ujarnya meyakinkan.
"Harusnya MUI mendekatkan orang ke surga, bukan menjauhkannya. Tapi, justru berbalik dengan kenyataan, MUI meminta kilennya mengakui kesalahan yang bukan kesalahannya.
Artinya zalim. Kita harus bicara nurani. Kalau sudah sumpah. Biar laknat Allah berkata, bukan manusia memaksa," tandas Ramdan.
Meskipun begitu, Eyang Subur tak turut melaporkan MUI ke Bareskrim. MUI hanya diadukan ke Komnas HAM. "Yang pasti sudah ke Komnas HAM (diadukan)," tegas Ramdan. DANANG SETIAJI/ADI SUHENDI
Pria yang populer sebagai guru spiritual kalangan artis itu melaporkan artis Adi Bing Slamet dan istrinya, serta dua mantan pengikutnya ke Bareskrim Mabes Polri.
Sekitar tiga jam Eyang Subur menjelaskan laporannya kepada petugas Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Bareskrim Polri, Jumat (19/4/2013). Didampingi pengacaranya, Ramdan Alamsyah, Eyang Subur juga mengadu ke Komnas HAM.
"Dua laporan kita diterima, kedatangan kita hari ini (kemarin) dalam rangka melakukan upaya penegakan hukum, mencari kebenaran dan mencari keadilan. Dan, mencari kebenaran itu bukan di depan media," tegas Ramdan di Mabes Polri, Jakarta.
Ada empat orang yang dilaporkan, yaitu Adi Bing Slamet, Nurjanah (istri Adi Bing Slamet), Novi Oktora dan Arya Wiguna. Laporan Eyang Subur tercatat dengan nomor TBL/169/ IV/2013/Bareskrim.
"Masing-masing terlapor merupakan pihak yang dengan bebasnya memberikan pernyataan-pernyataan di media cetak, online, yang akhirnya membentuk opini terhadap klien kami dan sangat merugikan," tandas Ramdan.
Adi Bing Slamet cs dinilai melanggar Pasal 27 jo Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (ITE). Apabila terbukti, mantan penyanyi cilik akhir tahun 1970-an itu terancam hukuman penjara selama enam tahun atau denda Rp 1 miliar.
Dada Eyang Subur makin sesak, manakala Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut campur. Ia merasa terzalimi. MUI dinilai seolah-olah memaksanya mengakui kesalahan melakukan praktek perdukunan.
Ramdan mengungkapkan, saat dirinya mendatangi MUI yang kedua kalinya untuk menanyakan fatwa resmi MUI, justru dijawab bahwa fatwa tersebut tak ada. "Di situ orang MUI mengatakan tolong pakai nurani, bahwasannya Eyang Subur pernah melakukan perdukunan," beber Ramdan.
"Artinya apa? Kalimat itu sama dengan kalimat Adi Bing Slamet yang menginginkan dia (Eyang Subur) mengakuinya. Percuma Eyang Subur sudah disumpah nggak dipercaya. Kenapa juga MUI menyuruh buat pernyataan yang sesungguhnya dia tidak melakukan?" tegasnya.
Eyang Subur sejak semula tak pernah mengaku sebagai dukun, kyai, ulama, guru atau paranormal. Ini sudah dibuatkan pernyataan tertulis dan dinotarialkan serta diserahkan ke MUI.
"Kenapa masih minta kita mengakui Eyang Subur menjalankan praktek perdukunan. Ini yang kita anggap timpang. MUI sendiri mengatakan terakhir saat tabayun, siap nggak untuk diislahkan? Oh, siap. Tapi nyatanya hari kedua kita ke sana. Kalau mau diislahkan harus buat pernyataan ini," tutur Ramdan.
Kendati demikian, Ramdan tak mau membuka isi surat yang dimaksud. "Surat, nanti rahasia. Tidak dibuka ke siapapun. Lho kok jadi kita seolah-olah diarahkan harus mengakui. Itu saksinya saya sendiri," ujarnya meyakinkan.
"Harusnya MUI mendekatkan orang ke surga, bukan menjauhkannya. Tapi, justru berbalik dengan kenyataan, MUI meminta kilennya mengakui kesalahan yang bukan kesalahannya.
Artinya zalim. Kita harus bicara nurani. Kalau sudah sumpah. Biar laknat Allah berkata, bukan manusia memaksa," tandas Ramdan.
Meskipun begitu, Eyang Subur tak turut melaporkan MUI ke Bareskrim. MUI hanya diadukan ke Komnas HAM. "Yang pasti sudah ke Komnas HAM (diadukan)," tegas Ramdan. DANANG SETIAJI/ADI SUHENDI
Hasil UN Bukan Satu-satunya Penentu Kelulusan
“Kelulusan siswa akan ditentukan oleh dua nilai, yakni 40 persen merupakan nilai sekolah dari mata pelajaran yang di ujian nasional-kan, sedangkan yang 60 persen merupakan nilai dari ujian nasional itu sendiri,” ucap Kepala Dinas Pendidikan Kaltim, H Musyahrim.
Peserta dinyatakan lulus apabila nilai rata-rata dari semua nilai akhir (nilai UN dan nilai sekolah) paling rendah 5,5, sedangkan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0.
Jadwal pelaksanaan UN antara lain, untuk SMA Luar Biasa dan SMK pada 16 hingga 18 April, untuk UN SMP dan yang sederajat pada 23 hingga 26 April, UN untuk SMA/MA pada 16 hingga 19 April, dan untuk UN SD pada 8 hingga 10 Mei.
Menurutnya, hasil UN akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam berbagai hal, di antaranya sebagai pemetaan mutu program satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan sebagai dasar pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam meningkatkan sekaligus memeratakan mutu pendidikan.
“Tidak benar jika ada anggapan bahwa hasil UN dijadikan satu-satunya faktor penentu kelulusan. Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan memiliki beberapa kriteria,” ujarnya.
Kriteria itu adalah, menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal pada penilai akhir untuk seluruh mata pelajaran, yakni berupa pelajaran agama dan akhlak mulia, mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahrga dan kesehatan.
Kriteria lainnya adalah, lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lulus ujian nasional.
Sedangkan tujuan penyelenggraan UN adalah, menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional, terutama pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Sejak 2011 telah ditetapkan oleh pemerintah pusat adanya formula baru tersebut, sehingga sangat nyata bahwa hasil UN bukan satu-satunya sebagai faktor penentu kelulusan peserta didik yang mengikuti UN,” ujar Musyahrim lagi.(pay)
Tak Perlu Lanjutkan UN Tahun Depan
TERKAIT:
"UN ini tidak perlu lagi ada. Banyak keluhan dari banyak pihak termasuk anak-anak," kata Istibsyaroh saat dialog Kisruh UN di DPD RI, Jakarta, Jumat (19/4/2013).
Hal serupa diungkapkan oleh anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Ace Sadzili. Ia menegaskan bahwa UN bukan merupakan satu-satunya alat untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia sehingga memang sebaiknya tidak lagi dilaksanakan.
"UN ini kan untuk mengetahui dimana kualitas pendidikan kita. Tapi apakah UN satu-satunya? UN ini bukan satu-satunya menurut saya," kata Ace.
Menurutnya, apabila untuk mengukur kualitas maka tidak perlu dilakukan tiap tahun dan kemudian dijadikan alat penentu kelulusan seorang siswa. Untuk itu, ia menyampaikan bahwa sebaiknya UN perlu diubah dengan pola lain misalkan saja mengukur kelulusan lewat ujian sekolah.
"Daripada seperti ini, lebih baik sudah tidak ada saja UN. Karena peserta didik hanya menjadi kelinci percobaan saja dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan manajemen," tandasnya.
Masih Perlukah Ujian Nasiona
KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP
Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat di SMA Negeri 1
Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (18/4/2013). Ujian hari pertama yang
diikuti 119.958 siswa se-Sulsel itu masih diwarnai sejumlah persoalan,
seperti sekolah kekurangan naskah soal dan adanya pertanyaan ganda dalam
mata pelajaran kejuruan bagi siswa SMK.
TERKAIT:
Kacau! Satu kata ini tampaknya tepat untuk menggambarkan pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA/SMK tahun ini.
Pelaksanaan UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak Senin, 15/4/2013. Mulai dari rendahnya kualitas lembar jawaban UN, tertukarnya paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi kecurangan yang mulai dilaporkan ke posko pengaduan UN atapun yang diungkapkan melalui media sosial.
Cukupkah berbagai permasalahan UN dipandang sebagai masalah teknis belaka? Andai masalah-masalah teknis ataupun indikasi kecurangan itu teratasi, misalnya dengan memperbanyak paket soal dan memperketat pengawasan, apakah UN layak dibiarkan tetap berlangsung sebagai rutinitas tahunan berbiaya besar tanpa manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air?
Asumsi UN
Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir, mengapa UN menimbulkan kecemasan yang luar biasa di kalangan siswa, orangtua, dan guru? Mengapa pembelajaran menjadi tidak mengasyikkan lagi bagi siswa sehingga harus dipaksa dengan sebuah tes bernama UN?
Persoalan UN tidak bisa semata-mata ditarik ke ranah teknis. Asumsi yang melandasi kebijakan UN harus diuji keabsahannya. Ujian kelulusan didasarkan asumsi: dengan menetapkan standar akademis yang harus dicapai siswa dan diukur melalui tes standar, disertai konsekuensi atas keberhasilan ataupun kegagalan mencapai standar tersebut, akan meningkatkan motivasi siswa, guru, dan sekolah dalam meningkatkan prestasi mereka.
Laporan tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy—sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002—menyimpulkan bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.
Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca).
Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut, sebagaimana pernah saya sampaikan dalam opini saya sebelumnya berjudul ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012). Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa?
Sementara itu, penelitian-penelitian lain juga telah mendokumentasikan dampak negatif ujian kelulusan. Di antaranya: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan.
Dampak-dampak negatif ujian kelulusan yang terdokumentasikan dalam beberapa penelitian di atas sebetulnya telah kita amati di Indonesia. Dampak negatif itu lebih dominan dibandingkan dampak positif yang masih belum terbukti. Meskipun kita masih butuh penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengamatan-pengamatan tersebut, akal sehat kita semestinya segera mendorong kita semua untuk segera mempertanyakan apakah UN sebagai salah satu komponen penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan pilihan kebijakan yang tepat saat ini?
Tidakkah lebih bermanfaat jika biaya penyelenggaraan UN yang begitu besar, yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, dialihkan untuk pelatihan guru, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, perbaikan sekolah yang rusak, dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya? Belum lagi biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua murid.
Perlu diingat pula, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan gugatan 58 warga negara atas kebijakan UN (21/5/2007). Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan ditolaknya upaya banding pemerintah (6/12/2007). Putusan itu kembali dikukuhkan Mahkamah Agung dengan ditolaknya kasasi pemerintah (14/9/2009). Sementara itu, tiga kali panggilan PN Jakarta Pusat terkait eksekusi putusan tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Upaya-upaya yang dilakukan Tim Advokasi Korban UN, termasuk dengan menemui, antara lain, Komisi X DPR, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Presiden belum membuahkan hasil. UN masih tetap berlangsung tanpa ada penilaian dari pengadilan apakah pemerintah telah memenuhi syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.
Patuhi putusan pengadilan
Putusan pengadilan tersebut mestinya menjadi momentum untuk meninjau UN sebagai penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini mengingat pelaksanaan UN tidak menjadi lebih baik, efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan pencapaian siswa masih menimbulkan tanda tanya, sementara dampak-dampak negatifnya terus bermunculan.
Saatnya UN dibicarakan bersama dengan jernih dan terbuka dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Dialog tersebut mestinya tidak hanya melibatkan kepala sekolah ataupun kepala dinas pendidikan dan jajaran Kemdikbud, tetapi juga kelompok masyarakat—termasuk yang selama ini dipandang sebagai penentang kebijakan UN. Dengan begitu, UN dapat dibedah dengan menggunakan sudut pandang yang bertolak belakang sekalipun guna mereposisi UN dan mencegah tereduksinya pendidikan menjadi penyortiran siswa berdasarkan prestasi akademis.
Jumat, 12 April 2013
ED SHEERAN LYRICS
"The A Team"
White lips, pale face
Breathing in snowflakes
Burnt lungs, sour taste
Light's gone, day's end
Struggling to pay rent
Long nights, strange men
And they say
She's in the Class A Team
Stuck in her daydream
Been this way since eighteen
But lately her face seems
Slowly sinking, wasting
Crumbling like pastries
And they scream
The worst things in life come free to us
Cause we're just under the upper hand
And go mad for a couple grams
And she don't want to go outside tonight
And in a pipe she flies to the Motherland
Or sells love to another man
It's too cold outside
For angels to fly
Angels to fly
Breathing in snowflakes
Burnt lungs, sour taste
Light's gone, day's end
Struggling to pay rent
Long nights, strange men
And they say
She's in the Class A Team
Stuck in her daydream
Been this way since eighteen
But lately her face seems
Slowly sinking, wasting
Crumbling like pastries
And they scream
The worst things in life come free to us
Cause we're just under the upper hand
And go mad for a couple grams
And she don't want to go outside tonight
And in a pipe she flies to the Motherland
Or sells love to another man
It's too cold outside
For angels to fly
Angels to fly
Langganan:
Postingan (Atom)