Selamat Datang ! . Suatu kehormatan bagi Lutvia Eka Novitri's blog atas kunjungan ini.Lutvia Eka Novitri's Blog sangat berharap kunjungan berikutnya.

Jumat, 19 April 2013

Raja Ampat Indonesia-scuba diving in paradise



Eyang Subur tak Suka MUI Ikut Campur

Eyang Subur tak Suka MUI Ikut Campur
Vi
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Eyang Subur akhirnya melawan setelah beberapa pekan digunjing tuduhan mengajarkan aliran sesat hingga hobi menikahi istri orang.
Pria yang populer sebagai guru spiritual kalangan artis itu melaporkan artis Adi Bing Slamet dan istrinya, serta dua mantan pengikutnya ke Bareskrim Mabes Polri.
Sekitar tiga jam Eyang Subur menjelaskan laporannya kepada petugas Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Bareskrim Polri, Jumat (19/4/2013). Didampingi pengacaranya, Ramdan Alamsyah, Eyang Subur juga mengadu ke Komnas HAM.
"Dua laporan kita diterima, kedatangan kita hari ini (kemarin) dalam rangka melakukan upaya penegakan hukum, mencari kebenaran dan mencari keadilan. Dan, mencari kebenaran itu bukan di depan media," tegas Ramdan di Mabes Polri, Jakarta.
Ada empat orang yang dilaporkan, yaitu Adi Bing Slamet, Nurjanah (istri Adi Bing Slamet), Novi Oktora dan Arya Wiguna. Laporan Eyang Subur tercatat dengan nomor TBL/169/ IV/2013/Bareskrim.
"Masing-masing terlapor merupakan pihak yang dengan bebasnya memberikan pernyataan-pernyataan di media cetak, online, yang akhirnya membentuk opini terhadap klien kami dan sangat merugikan," tandas Ramdan.
Adi Bing Slamet cs dinilai melanggar Pasal 27 jo Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (ITE). Apabila terbukti, mantan penyanyi cilik akhir tahun 1970-an itu terancam hukuman penjara selama enam tahun atau denda Rp 1 miliar.
Dada Eyang Subur makin sesak, manakala Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut campur. Ia merasa terzalimi. MUI dinilai seolah-olah memaksanya mengakui kesalahan melakukan praktek perdukunan.
Ramdan mengungkapkan, saat dirinya mendatangi MUI yang kedua kalinya untuk menanyakan fatwa resmi MUI, justru dijawab bahwa fatwa tersebut tak ada. "Di situ orang MUI mengatakan tolong pakai nurani, bahwasannya Eyang Subur pernah melakukan perdukunan," beber Ramdan.
"Artinya apa? Kalimat itu sama dengan kalimat Adi Bing Slamet yang menginginkan dia (Eyang Subur) mengakuinya. Percuma Eyang Subur sudah disumpah nggak dipercaya. Kenapa juga MUI menyuruh buat pernyataan yang sesungguhnya dia tidak melakukan?" tegasnya.
Eyang Subur sejak semula tak pernah mengaku sebagai dukun, kyai, ulama, guru atau paranormal. Ini sudah dibuatkan pernyataan tertulis dan dinotarialkan serta diserahkan ke MUI.
"Kenapa masih minta kita mengakui Eyang Subur menjalankan praktek perdukunan. Ini yang kita anggap timpang. MUI sendiri mengatakan terakhir saat tabayun, siap nggak untuk diislahkan? Oh, siap. Tapi nyatanya hari kedua kita ke sana. Kalau mau diislahkan harus buat pernyataan ini," tutur Ramdan.
Kendati demikian, Ramdan tak mau membuka isi surat yang dimaksud. "Surat, nanti rahasia. Tidak dibuka ke siapapun. Lho kok jadi kita seolah-olah diarahkan harus mengakui. Itu saksinya saya sendiri," ujarnya meyakinkan.
"Harusnya MUI mendekatkan orang ke surga, bukan menjauhkannya. Tapi, justru berbalik dengan kenyataan, MUI meminta kilennya mengakui kesalahan yang bukan kesalahannya.
Artinya zalim. Kita harus bicara nurani. Kalau sudah sumpah. Biar laknat Allah berkata, bukan manusia memaksa," tandas Ramdan.
Meskipun begitu, Eyang Subur tak turut melaporkan MUI ke Bareskrim. MUI hanya diadukan ke Komnas HAM. "Yang pasti sudah ke Komnas HAM (diadukan)," tegas Ramdan. DANANG SETIAJI/ADI SUHENDI

Hasil UN Bukan Satu-satunya Penentu Kelulusan

SAMARINDA- Bulan  April dan Mei 2012 para siswa semester akhir tingkat SD hingga SMA atau yang sederajat akan mengikuti Ujian Nasional (UN), namun siswa tidak perlu terlalu cemas karena kelulusan siswa bukan satu-satunya ditentukan dari hasil nilai UN.

“Kelulusan siswa akan ditentukan oleh dua nilai, yakni 40 persen merupakan nilai sekolah dari mata pelajaran yang di ujian nasional-kan, sedangkan yang 60 persen merupakan nilai dari ujian nasional itu sendiri,” ucap Kepala Dinas Pendidikan Kaltim, H Musyahrim.

Peserta dinyatakan lulus apabila nilai rata-rata dari semua nilai akhir (nilai UN dan nilai sekolah) paling rendah 5,5, sedangkan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0.

Jadwal pelaksanaan UN antara lain, untuk SMA Luar Biasa dan SMK pada 16 hingga 18 April, untuk UN SMP dan yang sederajat pada 23 hingga 26 April, UN untuk SMA/MA pada 16 hingga 19 April, dan untuk UN SD pada 8 hingga 10 Mei.

Menurutnya, hasil UN akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam berbagai hal, di antaranya sebagai pemetaan mutu program satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan sebagai dasar pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam meningkatkan sekaligus memeratakan mutu pendidikan.

“Tidak benar jika ada anggapan bahwa hasil UN dijadikan satu-satunya faktor penentu kelulusan. Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan memiliki beberapa kriteria,” ujarnya.

Kriteria itu adalah, menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal pada penilai akhir untuk seluruh mata pelajaran, yakni berupa pelajaran agama dan akhlak mulia, mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahrga dan kesehatan.

Kriteria lainnya adalah, lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lulus ujian nasional.

Sedangkan tujuan penyelenggraan UN adalah, menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional, terutama pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Sejak 2011 telah ditetapkan oleh pemerintah pusat adanya formula baru tersebut, sehingga sangat nyata bahwa hasil UN bukan satu-satunya sebagai faktor penentu kelulusan peserta didik yang mengikuti UN,” ujar Musyahrim lagi.(pay)

KECURANGAN UJIAN NASIONAL ITU NYATA !



13661542141694594037Foto ini saya peroleh dari grup FB IGI, berasal dari postingan guru yang mendapati siswanya membawa kertas berisi kunci jawaban UN, yang katanya berasal dari sebuah bimbingan belajar. Saya langsung shock melihatnya. Kasak-kusuk bisnis bocoran kunci jawaban seperti ini kan sudah lama kita dengar, dan selalu terjadi tiap tahun saat UN berlangsung.
Senin (15/4) lalu, usai UN SMA hari pertama, seorang guru menelpon saya sambil menahan tangis karena saking marahnya usai dilapori siswanya yang barusan dikasih kunci jawaban oleh sekolahnya (bukan dikasih gratis sih, tapi harus bayar Rp 50-100 ribuan). SMS siswa tersebut fiforward ke HP saya. Belum lama berselang, guru lain yang jadi pengawas UN mengisahkan hal yang mirip. Siswa di sekolah tersebut diminta datang lebih pagi, dikumpulkan di ruangan, lalu dibagikan kunci jawaban. Karena soalnya 20 paket, kunci jawabannya juga 20 paket. Ada yang model lembaran seperti foto ini, atau ada yang model lain LJK-nya difotokopi kecil-kecil, nanti siswa mengeluarkan kunci sesuai paketnya, yang lain dikantongin.
Biasanya, kunci jawaban yang diberikan bukan untuk semua soal, rata-rata hanya 15 sampai 20 soal saja. Setidaknya jawaban yang dijamin benar itu sudah cukup untuk meluluskan siswa. Mungkin ini untuk menghindari siswa satu sekolahan nilainya sempurna, karena mampu menjawab semua soal dengan benar, dan pastinya bakal mengundang kecurigaan. Pengambilan kunci jawaban biasanya dilakukan oleh 2-3 siswa sekitar jam 03.30 di rumah guru yang ditunjuk, lalu siswa yang lain diminta mengambilnya di rumah siswa tersebut, atau janjian di sekolah pagi-pagi sebelum UN berlangsung.
Apakah ini modus baru? Saya yakin tidak. Hanya saja banyak pihak mendiamkannya. Pengawas misalnya tidak ada yang menggeledah saku siswa untuk mencari kunci jawaban tersebut. Atau, seperti dikatakan pengawas yang menemui saya, ketika jam UN selesai, soal dan LJK tidak langsung ditarik, tapi siswa dibiarkan saling diskusi dengan temannya dengan tambahan waktu, sampai LJK terisi penuh.
Di bawah ini adalah postingan salah satu dosen PTN yang penasaran dengan kecurangan UN, lalu meminta para mahasiswanya sharing pengalaman UN saat mereka menjadi siswa. Silakan baca sendiri, saya copas sesuai aslinya. Para dosen boleh melakukan hal yang sama, tanyain saja para mahasiswa, apa iya dulu mereka UN dengan jujur? Saya kok yakin jawabannya akan mirip pengalaman dosen di bawah ini, meski semua siswa saat UN juga menandatangani pernyataan kejujuran di LJK
Tulisan dosen PTN yang saya maksud bisa dibaca di bawah ini (saya copas sesuai aslinya) :
*********
Pendidikan karakter vs UNAS
Pagi kemarin (senin 15-4-2013) saya masuk kelas Speaking. Karena lagi musim UNAS yg disertai dengan berita tertundanya UNAS di 11 provinsi, maka UNAS menjadi topik diskusi kami. Pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada mahasiswa “apakah diantara kalian ada yang melaksanakan unas dengan jujur”? Tak ada satupun yang menjawab. Maka diskusi semakin menarik. Saya minta mereka bercerita sejujurnya pengalaman mereka menghadapi unas.
25 mahasiswa yang ada dikelas bercerita satu persatu pengalam mereka. Tak ada sedikitpun yang mereka sembunyikan. Sedih, geram, heran campur menjadi satu mendengar cerita mereka. Bagaimana tidak, semua mengatakan kalau mereka mengerjakan UNAS dengan kecurangan.
Berbagai macam cara dilakukan oleh mereka dan pihak sekolah agar mereka bisa mendapatkan nilai yg baik. Dari diskusi tersebut, ada 4 pihak yang terlibat dalam pelaksanaan UNAS yg tidak jujur:
1. Sekolah/Guru
Di salah satu SMA negeri favorit di Gresik Selatan semuaa murid dikumpulkan pagi sebelum ujian di musholla sekolah. Mereka diajak berdoa bersama. Kemudian pihak sekolah memanggil salah satu siswa dari tiap kelas untuk diberi kunci jawaban dan kemudian di sebarkan ke yang lain.
Lain lagi yg dilakukan oleh guru di salah Satu SMA negeri favorit di surabaya. Wakill kepala sekollah yang mengkondisikan siswa untuk berbuat curang. Dia meminta nmr hp satu siswa tiap kelas dan mengirimi sms kunci jawaban ketika ujian berlangsung. Siswa dkondisikan untuk membawa 2 hp. Yg 1 dserahkan ke pengawas dan yang 1 disimpan.
Cara lain yang dilakukan sekolah meskipun tdk memberikan kunci jawaban, sekolah mengatur sedemikian rupa rupa formasi siswa tiap ruangan. Tiap ruang harus berisi minimal satu siswa yang pandai disetiap mapel dan mereka sebagai pusat contekan. Sebelum ujian, mereka juga diwanti-wanti agar selalu bekerja sama.
2. Siswa
Berbagai macam cara pula yang dilakukan oleh siswa untuk lulus ujian. Tak sedikit diantara mereka yang mengeluarkan uang untuk mendapat kunci jawaban. Mulai dari angka 60 ribu, 100 rbu, 110 ribu, 160 ribu bahkan ada yang sampai mengeluarkan uang sebesar 6 juta.
Cara unik dan terorganisir dilakukan oleh siswa2 di salah satu SMA negeri di sby. Meneruskan tradisi para seniornya, salah satu siswa mengkoordinir siswa satu sekolah untuk mencicil selama satu tahun untuk membeli kunci jawaban. Hingga pada akhirnya iuran tiap siswa mencapai angka 110 ribu.
Hal lain yang dilakukan siswa adalah bekerja sama dengan siswa dari lain sekolah, saling contek dengan bebasnya dikelas dll. Bahkan ada yang cerita kalau selama 90 menit pelaksanaan ujian mereka santai atau pura2 mengerjakan dan 30 menit sisa adalah mengecek jawaban dengan kunci jawaban yang mereka punya.
3. Pengawas
Kecurangan yang sekolah atau siswa lakukan sebenarnya diketahui oleh pengawas dan mereka membiarkan. Buktinya ketika siswa rame saling contek atau tukar jawaban hampir seluruh pengawas membiarkan. Mereka tetap santai membaca koran atau ngobrol dengan pengawas yang lain.
Pagi ini disalah satu stasiun tv juga ditayangkan kondisi kelas ketika ujian berlangsung. Di situbondo salah satu siswa terekam sedang membuka HP tampaknya sedang mengintip kunci jawaban. Di Madura, kelas gaduh karena saling contek dan dibiarkan begitu saja oleh pengawas
4. Lembaga kursus
Tak disangka ternyata lembaga kursus berperan besar terhadap kecurangan yang terjadi dalam UNAS. Beberapa mahasiswa mengungkapkan kalau mereka mendapatkan kunci jawaban dari lembaga kursus dimana mereka belajar. Tidak mengherankan jika sekarang banyak lembaga kursus menawarkan program lulus UNAS dan jika peserta tidak lulus maka uang kembali.
Ternyata kasak kusuk yang berkembang di tengah masyarakat terkait kecurangan UNAS bukan omong kosong. Kalau sudah seperti ini apa gunanya sekolah?
Kenapa pemerintah harus membuang uang miliaran rupiah untuk membuat kurikulum yang konon katanya berbasis karakter dsb. Usaha keras pemerintah, sekolah, guru dan siswa selama 3 tahun untuk yang tampak mulia hangus, dan hancur karena UNAS. Karakter baik yang dibentuk selama 3 tahun rusak gara-gara UNAS. Kalau sudah seperti ini apa layak untuk diteruskan???

Tak Perlu Lanjutkan UN Tahun Depan


ANGGA BHAGYA NUGRAHA Sejumlah siswa kelas XII SMA Taman Siswa, Kemayoran, Jakarta Pusat, tengah belajar bersama untuk menghadapi Ujian Nasional (UN), Selasa (9/4/2013). Menjelang UN yang akan berlangsung Senin mendatang, mereka mengaku memperbanyak belajar tambahan. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
JAKARTA, KOMPAS.com - Dorongan untuk menghapuskan Ujian Nasional (UN) pada tahun depan muncul dari berbagai pihak karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dan hanya menyebabkan anak-anak Indonesia menjadi tertekan. Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Jawa Timur, Istibsyaroh, mengatakan bahwa pelaksanaan UN kali ini merupakan yang paling buruk dan semestinya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkaca untuk tidak lagi menyelenggarakan ujian ini.

"UN ini tidak perlu lagi ada. Banyak keluhan dari banyak pihak termasuk anak-anak," kata Istibsyaroh saat dialog Kisruh UN di DPD RI, Jakarta, Jumat (19/4/2013).

Hal serupa diungkapkan oleh anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Ace Sadzili. Ia menegaskan bahwa UN bukan merupakan satu-satunya alat untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia sehingga memang sebaiknya tidak lagi dilaksanakan.

"UN ini kan untuk mengetahui dimana kualitas pendidikan kita. Tapi apakah UN satu-satunya? UN ini bukan satu-satunya menurut saya," kata Ace.

Menurutnya, apabila untuk mengukur kualitas maka tidak perlu dilakukan tiap tahun dan kemudian dijadikan alat penentu kelulusan seorang siswa. Untuk itu, ia menyampaikan bahwa sebaiknya UN perlu diubah dengan pola lain misalkan saja mengukur kelulusan lewat ujian sekolah.

"Daripada seperti ini, lebih baik sudah tidak ada saja UN. Karena peserta didik hanya menjadi kelinci percobaan saja dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan manajemen," tandasnya.

Masih Perlukah Ujian Nasiona

KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat di SMA Negeri 1 Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (18/4/2013). Ujian hari pertama yang diikuti 119.958 siswa se-Sulsel itu masih diwarnai sejumlah persoalan, seperti sekolah kekurangan naskah soal dan adanya pertanyaan ganda dalam mata pelajaran kejuruan bagi siswa SMK.
Oleh Elin Driana
Kacau! Satu kata ini tampaknya tepat untuk menggambarkan pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA/SMK tahun ini.

Pelaksanaan UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak Senin, 15/4/2013. Mulai dari rendahnya kualitas lembar jawaban UN, tertukarnya paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi kecurangan yang mulai dilaporkan ke posko pengaduan UN atapun yang diungkapkan melalui media sosial.

Cukupkah berbagai permasalahan UN dipandang sebagai masalah teknis belaka? Andai masalah-masalah teknis ataupun indikasi kecurangan itu teratasi, misalnya dengan memperbanyak paket soal dan memperketat pengawasan, apakah UN layak dibiarkan tetap berlangsung sebagai rutinitas tahunan berbiaya besar tanpa manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air?

Asumsi UN
Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir, mengapa UN menimbulkan kecemasan yang luar biasa di kalangan siswa, orangtua, dan guru? Mengapa pembelajaran menjadi tidak mengasyikkan lagi bagi siswa sehingga harus dipaksa dengan sebuah tes bernama UN?

Persoalan UN tidak bisa semata-mata ditarik ke ranah teknis. Asumsi yang melandasi kebijakan UN harus diuji keabsahannya. Ujian kelulusan didasarkan asumsi: dengan menetapkan standar akademis yang harus dicapai siswa dan diukur melalui tes standar, disertai konsekuensi atas keberhasilan ataupun kegagalan mencapai standar tersebut, akan meningkatkan motivasi siswa, guru, dan sekolah dalam meningkatkan prestasi mereka.

Laporan tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy—sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002—menyimpulkan bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.

Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca).

Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut, sebagaimana pernah saya sampaikan dalam opini saya sebelumnya berjudul ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012). Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa?

Sementara itu, penelitian-penelitian lain juga telah mendokumentasikan dampak negatif ujian kelulusan. Di antaranya: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan.

Dampak-dampak negatif ujian kelulusan yang terdokumentasikan dalam beberapa penelitian di atas sebetulnya telah kita amati di Indonesia. Dampak negatif itu lebih dominan dibandingkan dampak positif yang masih belum terbukti. Meskipun kita masih butuh penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengamatan-pengamatan tersebut, akal sehat kita semestinya segera mendorong kita semua untuk segera mempertanyakan apakah UN sebagai salah satu komponen penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan pilihan kebijakan yang tepat saat ini?

Tidakkah lebih bermanfaat jika biaya penyelenggaraan UN yang begitu besar, yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, dialihkan untuk pelatihan guru, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, perbaikan sekolah yang rusak, dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya? Belum lagi biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua murid.

Perlu diingat pula, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan gugatan 58 warga negara atas kebijakan UN (21/5/2007). Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan ditolaknya upaya banding pemerintah (6/12/2007). Putusan itu kembali dikukuhkan Mahkamah Agung dengan ditolaknya kasasi pemerintah (14/9/2009). Sementara itu, tiga kali panggilan PN Jakarta Pusat terkait eksekusi putusan tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Upaya-upaya yang dilakukan Tim Advokasi Korban UN, termasuk dengan menemui, antara lain, Komisi X DPR, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Presiden belum membuahkan hasil. UN masih tetap berlangsung tanpa ada penilaian dari pengadilan apakah pemerintah telah memenuhi syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.

Patuhi putusan pengadilan
Putusan pengadilan tersebut mestinya menjadi momentum untuk meninjau UN sebagai penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini mengingat pelaksanaan UN tidak menjadi lebih baik, efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan pencapaian siswa masih menimbulkan tanda tanya, sementara dampak-dampak negatifnya terus bermunculan.

Saatnya UN dibicarakan bersama dengan jernih dan terbuka dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Dialog tersebut mestinya tidak hanya melibatkan kepala sekolah ataupun kepala dinas pendidikan dan jajaran Kemdikbud, tetapi juga kelompok masyarakat—termasuk yang selama ini dipandang sebagai penentang kebijakan UN. Dengan begitu, UN dapat dibedah dengan menggunakan sudut pandang yang bertolak belakang sekalipun guna mereposisi UN dan mencegah tereduksinya pendidikan menjadi penyortiran siswa berdasarkan prestasi akademis.

Jumat, 12 April 2013

ED SHEERAN LYRICS

"The A Team"

White lips, pale face
Breathing in snowflakes
Burnt lungs, sour taste
Light's gone, day's end
Struggling to pay rent
Long nights, strange men

And they say
She's in the Class A Team
Stuck in her daydream
Been this way since eighteen
But lately her face seems
Slowly sinking, wasting
Crumbling like pastries
And they scream
The worst things in life come free to us
Cause we're just under the upper hand
And go mad for a couple grams
And she don't want to go outside tonight
And in a pipe she flies to the Motherland
Or sells love to another man
It's too cold outside
For angels to fly
Angels to fly